Ini adalah sebuah posting yang saya buat untuk sedikit menceritakan tentang siapa saya; sekaligus penjelasan mengapa hanya dijumpai sedikit sekali aktivitas di blog saya selama dua bulan belakangan.
Tanpa perlu menyebut nama, saya adalah seorang ayah dari 3 orang anak yang masih kecil - kecil. Yang terbesar berusia 3 tahun, sementara si bungsu baru menginjak bulan ketiga hidupnya. Menjelang pertengahan Januari lalu, saya didiagnosa mengidap HIV. Dunia saya seakan berhenti berputar. Walaupun telah seringkali saya memutar skenario mental tentang kemungkinan terburuk yang dapat terjadi di hidup saya ( ingat Hukum Murphy ? ), saya tetap tidak bisa menahan air mata yang menetes jika membayangkan apa jadinya jika salah satu dari ketiga anak saya membawa virus yang sama dalam tubuh mereka. Bisa jadi, hidup yang mereka jalani akan sangat sekejap…
Tidak mudah untuk menceritakan ini semua. Namun setelah melalui perdebatan pribadi yang melelahkan serta melibatkan airmata dan doa, saya akhirnya memberanikan diri untuk coming out. Kendati belum sepenuhnya dengan terang - terangan membuka diri di dunia nyata; lewat posting saya ini saya ingin menyampaikan pesan bahwa sudah waktunya kita menyikapi HIV / AIDS sebagai suatu ancaman serius. Seringkali ia merenggut kehidupan dan pemikiran - pemikiran yang paling potensial dari keluarga atau komunitas kita masing - masing. Cara mewujudkannya hanyalah satu ( yang sedihnya justru seringkali bertolak belakang dengan kenyataan di negara kita ini ) : perangi stigmatisasi terhadap penderita HIV / AIDS. Hanya dengan cara itulah kita bisa mengharapkan mereka bisa menjalani sisa waktu mereka dengan maksimal dan memberikan karya yang terbaik ke lingkungan di mana mereka berada. Dan yang terpenting, karena hanya dengan mengakui eksistensi dan hak hidup mereka lah maka kita justru sedang mengambil bagian krusial dalam menghambat penyebaran epidemi global ini. Bayangkan, jika keadaan ( baca : stigmatisasi ) tetap berjalan seperti sekarang untuk masa dua tahun saja misalnya; ada berapa banyak penderita yang terpaksa bersembunyi dan kemudian, - baik secara sadar maupun tidak sadar -, menyebarkan virus ini ke mereka yang sebelumnya sehat - sehat saja ? Inilah yang sebenarnya paling menyedihkan. Dengan mengklasifikasikan penyakit ini dan penderitanya sebagai penyakit sosial , sebenarnya masyarakat kita sedang mensabotase diri secara pelan - pelan.
Hal inilah yang menjadi motivasi saya untuk mengungkapkan keadaan saya yang sebenarnya. Berat memang. Beberapa orang tidak menyetujui langkah yang saya ambil ini. Tetapi pada akhirnya sayalah yang menjalani semuanya, dan saya ingin melakukan apa yang saya anggap benar, - bahkan jika ini menjadi perbuatan baik yang terakhir dalam hidup saya.
Jadi inilah saya. Posting ini tidak ditulis dalam rangka mencari simpati, walaupun Tuhan tahu ada berapa banyak malam yang saya lalui tanpa tidur dalam ketakutan tentang masa depan anak - anak saya.
Kepada keluarga yang berpendapat lain, ijinkan saya melakukan apa yang saya yakini. Kepada kolega dan klien, saya berharap Anda masih sudi meneruskan apa yang sedang kita kerjakan bersama. Justru kondisi saya sekarang ini membuat saya lebih membutuhkan kerjasama Anda.
Mohon doa sebanyak - banyaknya dari Anda semua. Apa yang saya hadapi hanya bisa dilalui dengan pertolongan Ilahi. Ia benar - benar berada di luar wilayah kendali manusia.
No comments:
Post a Comment