“Berfirmanlah Allah: “Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata dan segala jenis binatang liar.” Dan jadilah demikian.
Allah menjadikan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata di muka bumi. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.”
Kejadian i.24-25
BAB I KONSEPSI
Ini adalah cerita tentang sebuah rentang waktu yang dinamai hari. Tentang satu hari yang teramat genting dalam hidupku. Satu hari yang telah kutunggu dengan antisipasi dan tetesan air liur selama sepuluh tahun yang terakhir. Kadang dengan antusias, kadang tidak.
Walaupun, tentu saja, nama – nama yang kugunakan bukan nama asli; konotasi dan nuansa dari nama – nama surrogates atau alias yang kugunakan memiliki rasa dengaran yang sama dengan nama asli mereka yang kukenal di kehidupan nyatanya. Dus, kau boleh yakin bahwa Surreal yang asli memiliki nama yang sama ganjilnya. Sayangnya, untuk namaku sendiri aku tidak menemukan substitusi yang memiliki koneksitas dalam derajat yang sama. Cuma sekedar sama – sama berawalan huruf “f”.
Seluruh adegan dalam buku ini aku rekonstruksi dari dialog yang terjadi antara aku dan yang bersangkutan. Kadang, apa yang kusebut dengan dialog sedikit bergeser ke arah interogasi, tentunya dengan siksaan dan paksaan yang layak dan sepantasnya. Sesudah aku mengetahui apa yang terjadi dengan dia di hari itu, barulah aku melakukan reka ulang adegan yang ia lalui, dan menyisipkannya di tempat – tempat yang pas dari keseluruhan konstruksi buku ini.
Hidupku tidak bisa dibaca dengan cara yang wajar. Jangan kau bayangkan sebuah buku berisi cerita yang linear dengan detail – detail yang koheren. Benar bahwa aku sedang berusaha menceritakan sesuatu, tetapi aku adalah seseorang yang bertutur tentang hidup sebagaimana ia menjalaninya, bukan seorang pengarang yang menuliskan buah pikirannya. I am a cannibal first, a writer second. Jika itu membuat buku ini menjadi sedikit susah dicerna seperti daging manusia – manusia tua yang kubenci, well I’m sorry, it’s hard to be a cannibal.
Mungkin rekomendasi terbaik yang bisa kuberikan adalah dekati aku dengan hatimu. Perlakukan catatan ini sama seperti saat kau menemukan buku harian seseorang yang tak seharusnya kaubaca. Sudah seharusnya kau mensyukuri privilege ini : aku mengijinkanmu untuk membaca memoarku. Empat tahun yang lalu, seorang gadis yang tak beruntung menemukan naskah ini dan membacanya diam – diam pada suatu pagi sesudah kami mengkonsumsi malam yang penuh dengan eksplorasi dalam bentuk cekikan dan scarf satin. Aku akhirnya memakan otaknya untuk sarapan. Dengan double espresso.
Masih kuingat pagi itu. Pagi September yang gagal menjelma jadi siang. Langit berwarna seperti asap dan matahari tak pernah muncul sampai saat malam harus tiba. Aku mencium hujan di udara. Ia tak meronta saat kuikat tangan dan kakinya ke kursi. Ia bahkan terpejam mengerang waktu kugunting bajunya dari leher ke bawah. Baru saat potongan bajunya kujejalkan ke mulutnya lah matanya mulai membelalak.
Next, kupakai bor listrik dengan mata delapan untuk melubangi tempurung kepalanya. Tentunya setelah kucukur rapi ubun – ubunnya dan area sekitarnya dalam diameter 15 cm. Kau tak perlu membayangkan aku khawatir teriakannya terdengar oleh penghuni apartemen sebelahku. Jeritan bor listrik mengalahkan segalanya. Kau pun akan kagum bahwa manusia kebanyakan hanya berteriak atau melawan selama kurang lebih satu menit. Lebih dari itu, mereka mencoba, tetapi lebih sering jatuh pingsan karena rasa sakit dan teror. Kuncinya adalah memenuhi benak mereka dengan ketakutan yang amat sangat, dan mereka akan menggelepar pasrah. Bukan menyerah, tetapi meronta lemah menyedihkan seperti ikan yang kau keluarkan dari akuarium. Yang harus kau lakukan tinggal satu pukulan tepat dan kau akan bisa melakukan apapun yang ingin kau lakukan setelahnya. Aku bersumpah, tak ada pengalaman yang lebih mulia daripada menyaksikan mata seseorang yang penuh dengan ketakutan. Saat itu, kau merasa bahwa kau adalah Tuhan, dan dia adalah umatmu yang sedang menunggu penghakiman terakhirmu : Surga, atau neraka ? Betapa sublim detik – detik itu ! Waktu serasa terhenti begitu aku melangkah memasuki kuil yang kubangun sendiri. Tubuhnya adalah altarku dan urine yang keluar saat ia pingsan adalah anggur sakramenku.
Sisanya sangatlah mudah. Aku tinggal mengambil 100 gram otaknya dengan scalpel ( Jangan memakan otak manusia lebih dari 150 gram sekali makan atau kau akan mual sepanjang hari ! ), mencucinya dan menaruhnya dengan hati – hati di atas piring. Lengkap dengan lumuran chocolate syrup dan irisan daun selada. Sesendok demi sesendok aku memakannya. Tanpa pernah melepas pandanganku dari matanya yang terus terbuka. Ia baru sepenuhnya mati pada suapan terakhirku. Sempurna. Padamnya sebuah kehidupan dan anggur merah untuk merayakannya.
Bagaimana keadaanmu sendiri, pembacaku ? Apakah kau mulai merasa hangat atau bahkan gerah ? Apakah hidungmu mulai mencium bau busuk duniaku ? Apakah kau merasa jijik tanpa mengetahui sebabnya, karena sepanjang pengetahuanmu kau telah mandi dengan sempurna tadi pagi ? Bagus. Karena aku memang sedang mengencingi pikiranmu.
You have been warned.
—————————————————-—————–
Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Hannibal Lecter. Ya, bagi kebanyakan manusia, Doktor Hannibal Lecter yang terhormat adalah sebuah gagasan mengagumkan tentang kegilaan manusia, tentang keindahan sebuah dementia. Tentang betapa hantu kanibalisme dapat berwajah begitu memukau dan bahkan cenderung artistik. Dan jika seorang pengarang ingin menulis buku tentang kanibalisme ( paling tidak jika ia lahir di sepertiga terakhir abad ke – 20 ), maka imajinasinya akan tertawan oleh beliau. Aku setengah berharap aku sedang terperangkap hal yang sama.
Kenyataan yang sebenarnya sungguh lebih menyedihkan. Bahkan melumpuhkan rasaku saat suatu hari kucoba untuk memikirkannya ( Aturan pertama tentang bagaimana hidup sebagai seorang kanibal : Jangan pernah mencoba mempertanyakan mengapa engkau terlahir sebagaimana engkau ada ! ). Kami lah yang menciptakan Hannibal Lecter dan kultur populer kanibalisme seperti yang terekspos di film – film. Ya, kaum kanibal asli bawah tanah seperti kami lah yang menjadi inspirasi hidup Jonathan Demme pada masa pembuatan Silence of the Lambs, dan tentu saja sekian banyak sekuel, prekuel, dan kuel – kuel lainnya. Tepatnya, salah seorang dari kami, seorang bangsat genius bernama Ed Gein.
Sekarang coba pejamkan matamu sejenak dan bayangkan menjadi salah seorang dari kami. Pertanyakan rasamu. Gugat Tuhanmu. Sepanjang pengetahuanmu bunuh diri adalah sebuah dosa kalau kau kebetulan beragama, atau paling tidak suatu tindakan pengecut kelas tinggi jika kau seorang agnostik. Sayangnya, tidak ada jalan lain yang bisa kau pilih jika kau ingin menghentikan aktivitasmu makan orang. Sebab selama kau masih bernafas, pikiranmu akan tak pernah berhenti meneriakkan dahaga akan daging selembut daging paha gadis muda yang kau santap tadi malam. Lantas apa yang terjadi ? Mulutmu akan mulai meliur, keringat mulai terbit; dan hal selanjutnya yang kau tahu adalah kau tiba – tiba sudah duduk dan mulai menyusun sebuah daftar tentang siapa yang akan menjadi pengisi hotplate-mu selanjutnya. Kasus klasik dari mind over matter.
Biarkan kejadian seperti itu terulang tiga atau empat kali, maka kau akan berhenti mengkritisi eksistensimu. Kau mulai melarut dalam kehidupanmu yang baru. Tepat itulah yang terjadi kepadaku pada masa – masa awal “coming out”-ku 10 tahun yang lalu, - atau aku lebih suka menyebutnya sebagai titik didih personalku. Aku masih belum lupa justifikasi yang waktu itu kubuat. Jika Tuhan yang kusembah sendiri berkata : “Inilah tubuhKu dan DarahKu. Barangsiapa makan dan minum dari cawan ini……”, maka siapa sesungguhnya diriku untuk mengingkari kenyataan seakbar itu ? Tuhan sendiri mengakui kanibalisme manusia. Bukan orang lain. T-U-H-A-N. Tuhan.
Aku pun mulai merasakan kedamaian semenjak saat itu. Aku yakin sepenuhnya bahwa damai sejahtera yang sering disebut – sebut pendeta – pendeta kaya itu adalah perdamaian dengan keberadaan diriku yang kini kurasakan dan kuhayati sepenuhnya. Pikirkan hal ini baik – baik : Hampir seluruh jemaat mereka bahkan ambil bagian dalam kanibalisme ritual secara rutin yang memiliki berbagai nama seperti perjamuan kudus, perjamuan suci dan komuni. Ada sedikit rahasia yang akan kubagi padamu di titik ini. Aku menganggapnya sebagai manifesto genetik bahwa semua manusia pada dasarnya adalah kanibal. Studi – studi genetik yang dilakukan di beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki gen tertentu yang memberikan kepada mereka imunitas terhadap penyakit – penyakit yang menular jika, - dan hanya jika, ia memakan otak manusia lain. Hah ! Penemuan yang sungguh membebaskan ! Viva The Human Genome Project ! Cetak biru manusia pemberian Tuhan tak mungkin terbantahkan oleh dogma – dogma hasil usaha menyedihkan manusia untuk hidup lebih suci dari Tuhan mereka sendiri. Di mana matamu ? BANGUN !! Tuhan, Allah, Nabi dan Dewamu adalah para Kanibal dengan huruf K besar !
No comments:
Post a Comment