Monday, July 14, 2008

LOMBOK DI GIGITAN PERTAMA : Dari Ekspektasi Sampai Rasa Syukur

Secara filosofis, Lombok memiliki potensi untuk berkedudukan sama dengan seorang anak terhadap orangtuanya. Para orangtua, terutama kaum komuter urban yang sering menghabiskan waktu lama di luar rumah karena kesibukan pekerjaan, sering berharap bahwa mereka akan cepat tiba di rumah masing - masing untuk berinteraksi dengan anak - anak yang mereka cintai. Anak di sini lantas memiliki fungsi terapeutik sebagai suatu personifikasi sebuah oase yang memberikan kesejukan dan menyegarkan kembali para musafir yang kelelahan dalam perjalanan mereka mengarungi padang pasir yang bernama kehidupan. Mengacu pada titik awal tulisan ini, Lombok sebagai Daerah Tujuan Wisata ( DTW ) memiliki banyak alasan untuk menjadi tempat yang tak hanya mampu menjadi agen rekreatif penyegar tubuh dan jiwa sebagai suatu obyek wisata secara umum, namun juga sebagai pembuka wacana tujuan alternatif di tengah - tengah jenuhnya tujuan wisata lain yang rata - rata telah tereksploitasi seperti Bali.


Lantas, pertanyaan krusial yang harus kita temukan jawabannya adalah : Realistiskah gagasan tersebut untuk diadopsi sebagai sebuah cita - cita bagi Lombok ? Demi menjawab pertanyaan inilah maka Penulis berangkat untuk menyusuri tujuan - tujuan wisata penting yang ada di sana. Ekspektasi saya sangat sederhana. Saya berharap untuk meraba dan merasakan sendiri posisi dan potensi Lombok sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata di Indonesia. Bagi saya pribadi, menulis artikel perjalanan memaksa saya untuk mengambil waktu istirahat dan berekreasi sambil melakukan riset, satu hal yang sangat mudah untuk direncanakan, tetapi tidak untuk dilakukan. After all, bukankah sebuah pemeo sering berkata bahwa menyelam bisa dilakukan sambil minum air ?

———————————–

Perjalanan dimulai ketika saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Lembar yang menjadi akses masuk utama Lombok bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan kapal ferry dari Bali. Karena tidak ditemukan sesuatu yang spesial di sini, saya kemudian meneruskan perjalanan ke Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat dan kota terbesar di Pulau Lombok, yang terletak di arah Tenggara dari Pelabuhan Lembar tersebut.


Menyebut Mataram mengharuskan saya untuk menyebut Pura Meru. Ia adalah salah satu pura Hindu Bali tertua di Lombok. Terletak di tengah kota Cakranegara, Pura Meru mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Seorang pangeran dari Bali yang bernama Anak Agung Made Karang Asem membangun Pura ini sebagai upaya untuk menyatukan berbagai kerajaan kecil yang ada di Lombok pada masa silam. Tidak dijelaskan di buku panduan kecil yang saya miliki mengapa kerajaan - kerajaan tadi mesti disatukan, pula petugas di sana tak memiliki jawaban ketika saya menanyakannya. Kendati demikian, ia pantas mendapat sedikit kredit karena mampu menjelaskan bahwa Anak Agung Made Karang Asem adalah salah satu raja Karang Asem yang menguasai sebagian wilayah Pulau Lombok dan bertahta pada kurun waktu tahun 1740 - 1894 ( Sebetulnya saya curiga. 150 tahun ? Setua apa beliau ? ) Yang pasti, Pura ini menjadi simbol alam semesta dan penghormatan terhadap tiga dewa utama Agama Hindu yaitu Brahma, Wisnu dan Syiwa. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan tentang prinsip - prinsip kosmologis jagat raya dan isinya telah dilontarkan di waktu yang sangat lampau, sama seperti yang kita temui di aliran kepercayaan kejawen. Guess New Age is not so new after all


Secara fisik, Pura ini terdiri dari tiga halaman yang luar membentang dari arah Barat sampai ke Timur. Halaman tengah memiliki kedudukan yang penting dan sentral karena memiliki dua buah bangunan besar berundak - undak yang digunakan sebagai tempat menyusun sesaji untuk upacara keagamaan. Ia diapit oleh Rumah Kulkul ( dalam bahasa setempat berarti kentongan ) di sebelah Barat, dan tiga buah menara pada halaman sebelah Timur. Satu catatan tersendiri tentang menara - menara ini adalah bahwa ketiganya memiliki susunan atap yang khas : sebelas susun atap pada menara tengah dan sembilan susun pada menara kiri dan kanan, yang masing - masing menjadi representasi dari Dewa Syiwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma.


Masih di kawasan yang sama, tepatnya sesudah menyeberangi jalan, saya mengunjungi Istana Air Mayura yang dibangun oleh raja yang sama pada tahun 1744 dengan nama Taman Kelepug. Secara etimologis, Mayura adalah kata dalam bahasa Sanskrit yang berarti burung merak, sementara nama Taman Kelepug diambil menurut bunyi dengaran suara jatuhnya air di telaga dalam taman tersebut. Rupanya, Anak Agung Made Karang Asem adalah seorang pembangun yang baik, namun sama sekali tidak kreatif dalam masalah penamaan. That being said, saya toh tidak memiliki alasan lain untuk komplain saat berada di taman yang baru memperoleh namanya yang sekarang saat mengalami penggantian nama pada tahun 1866, konon karena di taman ini pada waktu itu banyak terdapat burung merak yang hidup dengan memangsa ular yang juga terdapat dalam jumlah yang sama banyaknya. Hal lain yang juga patut diangkat adalah keberadaan Bale Kambang di tengah - tengah taman, suatu bangunan terapung yang pernah berfungsi sebagai tempat menggelar pengadilan pada jaman penjajahan Belanda.


Keterbatasan waktu menuntut saya untuk mengambil keputusan. Dengan tujuan perjalanan saya sebagai konsideran, saya akhirnya memilih untuk mengunjungi Taman Narmada sebagai tujuan saya selanjutnya. Sederet alternatif destinasi yang lain bagi saya memiliki daya tarik yang sama mudahnya dijumpai di tempat lain. Walau demikian, Anda yang memiliki waktu dan bujet lebih bisa mempertimbangkan Pantai Ampenan ( dengan bangunan - bangunan tua dan sebuah kelenteng purba ), Pondok Perasi dan Tanjung Karang ( pasar ikan tradisional pagi hari ), makam PPH Van Ham ( seorang wakil komandan ekspedisi kolonial Belanda yang tewas dalam pertempuran melawan Raja Mataram ), makam Loang Baloq ( tempat Sayid Tohri sebagai penyebar agama Islam disemayamkan ), Rungkang, Sindu dan Saksari, Sekarbela ( masing - masing merupakan pusat kerajinan tradisional berbasis gerabah, kayu, tulang, tanduk, perak dan bahkan emas dan mutiara ), serta Museum Negeri Propinsi NTB; yang kesemuanya berlokasi di sekitar kota Mataram.

————————————

Taman Narmada layak dikemukakan dalam diskusi serius sebagai salah satu atraksi wisata utama Lombok. Sering diabaikan karena blow - up atas obyek wisata utama lainnya yang berkepentingan promosi dan profit, Taman Narmada adalah usaha luhur seorang manusia untuk “menangkap” keindahan estetis suasana di puncak Gunung Rinjani dan memindahkannya ke dalam sebuah simulasi, lengkap dengan kawahnya. Sayangnya, sekali lagi ketidaklengkapan informasi tampaknya belum menjadi perhatian otoritas yang berwenang. Saya sama sekali tak menemukan nama pembangun taman ini. Dugaan saya adalah seorang raja yang berlatar belakang Hindu dan familiar dengan pengaruh kebudayaan India, lantaran nama Narmada yang diambil dari nama sebuah sungai suci di India. Selain Pura Kalasa yang memang sudah seharusnya berada di sana, kompleks taman ini juga memiliki mata air yang berasal dari suatu sumber bawah tanah yang sama dengan mata air di Gunung Rinjani. Lokasi Taman Narmada berada pada sebuah bukit di sebelah Timur Sweta di jalan raya utama yang menghubungkan bagian timur dan barat Pulau Lombok.


Masih di kawasan yang berdekatan, saya menyempatkan diri untuk melangkahkan kaki ke Pura Lingsar sebagai pura yang dianggap paling suci di Lombok. Dibangun pada tahun 1714, Pura ini adalah contoh yang bagus tentang salah satu metode kehumasan paling efektif yang digunakan dalam sepanjang sejarah penyebaran agama : sinkretisme. Jika saja saya memiliki cukup waktu, kompleks pura ini dapat menjadi suatu studi tersendiri karena ia menggabungkan unsur - unsur dua sistem religiu dan kepercayaan yang berbeda, yaitu Hindu dan Weku Telu. Walaupun banyak ditemui tanda - tanda sinkretisme implisit dalam obyek - obyek wisata lain di Indonesia, percayalah, pertunjukan yang paling nyata hanya dapat Anda temukan di sini. Pura Hindu yang ditempatkan di bagian utara, dipisahkan dengan Pura Weku Telu di bagian selatan dengan mengadopsi perbedaan elevasi tanah.


Jangan lupa untuk melihat kolam “belut suci” di kompleks ini yang pernah dimuat di salah satu harian ibukota beberapa tahun yang lalu. Mereka dianggap demikian karena hanya mau menampakkan diri jika dipancing keluar dengan sebutir telur rebus. Jika waktu kunjungan Anda bertepatan dengan akhir bulan November sampai Desember, menurut informasi yang saya dapat Anda juga dapat menjadi saksi atas Perang Topat, suatu upacara adat yang dilangsungkan sebagai perwujudan rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan bagi kelangsungan hidup mereka.

——————————————-

Saya berhenti sejenak di titik ini. Saya sengaja mengesampingkan beberapa obyek wisata utama lainnya di Pulau Lombok. Sebagian karena mereka sudah terlalu sering diangkat sebagai topik dan oleh karenanya menjadi anggota kelompok obyek wisata mainstream Indonesia lainnya dengan satu karakteristik sebagai benang merah : sangat berpotensi, tetapi kehilangan personal appeal di tengah desakan fasilitas umum yang dibangun untuk mengakomodasi kepentingan wisatawan. Sebaliknya, beberapa kawasan lain disisihkan justru karena saya menganggap mereka begitu indah sehingga layak untuk dibahas dalam suatu tulisan tersendiri. Senggigi dan Gili Trawangan termasuk di sini.


Kemudian, apa konklusi yang bisa ditarik dari perjalanan singkat saya ke Lombok ? Beberapa poin muncul ke permukaan dengan cepat, demikian nyata sehingga sesaat saya merasa mereka sedang mengentaskan diri sendiri dan saya tak perlu menarik kesimpulan apa - apa. Pertama, sesungguhnya Lombok memiliki pesona dan keindahan yang sama, - jika tidak mau dikatakan lebih -, dengan beberapa situs wisata terpopuler lain di Indonesia, bahkan di dunia. Tentu saja hal ini sulit untuk diperdebatkan dengan obyektif karena menyangkut estetika dan selera pribadi, namun saya rasa tak seorang pun yang akan menyanggah saya jika saya katakan Senggigi adalah salah satu pantai terindah di dunia bukan ? Kedua, Lombok secara mengejutkan masih jauh tertinggal dari Bali, saudara tuanya. Masih banyak hal yang harus diperbaiki seperti sarana dan prasarana serta kompetensi sumber daya manusia sebagai modal utamanya. Secara personal, saya dengan sedih berpikir bahwa ini adalah manifestasi vulgar dari salah satu kelemahan utama bangsa ini : ketidakmampuan menginisiasi sesuatu di luar status quo, dan kegagalan berpikir di luar batas - batas konvensional melalui pergeseran paradigma. Apa yang terlihat tertinggal sesungguhnya bisa dipelintir menjadi suatu kelebihan. Lombok, - dengan satu atau dua sentuhan mudah -, dapat dijual sebagai tempat wisata yang menawarkan otentisitas alam dan eksotisme penduduk serta adat lokal. Asal berhati - hati dan tidak melakukan justifikasi atas hal - hal yang mutlak diubah seperti kualitas SDM dan sebagainya, mengangkat derajat dan pendapatan penduduk lokal Lombok melalui sektor pariwisata bukanlah hal yang jauh panggang daripada api.


Dus, untuk menanggapi premis yang menjadi awal tulisan ini di atas, saya tidak bisa untuk tidak menarik kesimpulan bahwa persoalan Lombok adalah persoalan bangsa, bukan persoalan lokal. Sinonim dengan keterbelakangan daerah tertinggal dan ketimpangan sosial ( Hegemoni Freeport di Papua langsung teringat ) daerah lain di Indonesia, kondisi Lombok yang berada di bawah potensi dan ekspektasi berpangkal di orientasi budaya feodalisme tuan tanah di satu sisi, serta pemerintahan yang celakanya selama ini berperan sebagai korporasi nasional yang sentralistik di sisi lain; yang menghisap seluruh potensi dan profit dari kantor cabang demi tegaknya menara gading kantor pusat di Jakarta. Apakah kemudian ini berarti Lombok tidak bisa dinikmati sebagai satu tujuan wisata ? Sangat bisa. Kuncinya adalah datang dan nikmati dia dengan pikiran dan pandangan yang bebas. Lupakan segala kemudahan instan kota besar, dan sama seperti Putri Diana yang memilihnya sebagai salah satu tempat liburan favorit , tahanlah nafas dan ucapkan rasa syukur kepada Tuhan karena Ia menciptakan pantai Senggigi !

No comments: