PROLOG
Nama saya Iorwen. Siapa sebenarnya saya tidaklah penting. Satu – satunya alasan mengapa saya mengirimkan manuskrip buku ini ke meja sebuah penerbit adalah agar ada sebanyak mungkin orang yang membaca tentang kehidupan penulis buku ini. Saya sungguh berharap ada orang terdekat si penulis yang ikut membaca buku ini karenanya. Dengan demikian, saya bermimpi agar si penulis dapat memperoleh perhatian dan mungkin pertolongan yang ia butuhkan.
Buku ini saya temukan di sebuah toko buku bekas di Jakarta. Saat saya pertama memungutnya dari rak, saya langsung tahu bahwa ada sesuatu yang ganjil di sini. Ia tidak dicetak, melainkan diketik manual dengan mesin ketik biasa. Ia bahkan hanya dijilid spiral seperti yang saya lakukan saat memfotokopi diktat kuliah sewaktu saya mahasiswa dulu. Pendek kata, seluruh ciri fisik buku ini tidak sesuai dengan buku terbitan massal pada umumnya. Benak saya berkata bahwa mungkin buku ini memang hanya dicetak terbatas oleh penulisnya.
Kejutan belum berhenti di sini. Saat saya memutuskan untuk membelinya, mas penjaga toko yang kukenal ramah mendadak terdiam dan terlihat kebingungan. Buku ini ternyata tidak terdaftar di daftar inventaris toko, dus tidak memiliki harga. Saya pulang dengan membawanya setelah membiarkannya menelpon pemilik toko, yang juga saya kenal, untuk melakukan konfirmasi. Omong – omong, karena dianggap sebagai pekerjaan orang iseng, saya memperolehnya tanpa membayar sama sekali, - gratis !
Pukul 9 malam saya mulai membacanya sesudah membuat secangkir teh dan menyalakan lilin aromaterapi kesukaan saya. Saya mengharapkan hiburan, sebuah penyegaran bagi kepala saya yang pening seharian berkutat dengan urusan pekerjaan. Yang saya peroleh adalah teror dan air mata. Kejutan bahkan sudah dimulai di halaman ke-3 saat saya menemukan secarik kertas yang terselip. Sama seperti format buku yang terkesan personal, kertas ini malah ditulisi dengan tulisan tangan ! Di titik ini bulu kuduk saya mulai berdiri. Intuisi saya mengatakan bahwa saya bukan sedang membaca sebuah buku, melainkan pengakuan personal seseorang yang tidak saya kenal.
Selama lima jam saya membacanya tanpa berhenti. Saya tidak memiliki waktu untuk tidur dan tidak sanggup berhenti bahkan untuk sekedar pergi ke toilet. Saat saya akhirnya menutup sampul belakang, pipi saya basah oleh air mata. Saya merasa cemar, seperti yang saya rasakan saat saya kehilangan keperawanan saya delapan tahun yang lalu. Saya merasa dingin dan menggigil. Telanjang dan sendiri. Saya ketakutan.
Ijinkan saya menyudahi pengantar ini dengan mereproduksi tulisan tangan penulis di atas kertas yang terselip di buku tadi. Dan, sama seperti apa yang saya alami pada malam itu, silakan memasuki sebuah dunia yang gelap seperti lubang hitam namun basah oleh amarah dan darah semerah kirmizi.
“Harus kubuat luka itu di pipinya. Luka berbentuk huruf F sedalam 5 cm. Tegas. Setegas takdir.
Sepuluh tahun harusnya adalah waktu yang cukup untuk menjadi tenang kembali. Tapi sudah lama aku tahu bahwa di otakku hidup belasan binatang liar yang tak pernah mampu kujinakkan. Termasuk yang bernama Murka. Ia tengah berada dalam puncak kecepatan larinya dengan momentum yang sungguh mengerikan. Jika saja aku hidup di jaman prasejarah, dan sanggup menemukan seekor mammoth yang cukup bodoh untuk dijadikan bahan Latihan Bagaimana Menghentikan Lari Seekor Raksasa, maka mungkin Murka menjadi sepele buatku. Tetapi tidak sekarang.
Bukan berarti harus diprotes sebenarnya. Di jalur positifnya, kebun binatang pikiran dapat menjadi senjata yang mematikan, - atau paling tidak menkreasi suatu terobosan yang dahsyat. Aku berani taruhan 4:1 bahwa dulu Thomas Alva Edison sebenarnya sudah letih dan hendak menyerah pada percobaannya yang ke lima puluh sekian. Tiga puluh atau empat puluh masih mungkin. Tapi lima puluh ? Maaf. Terakhir kali aku cek, dia lahir bukan di planet Krypton. Aku yakin bahwa Ambisi lah raja di hutan pikirannya. Ambisi menolak semua kekangan keletihan yang coba ia pasang. Ambisi lah yang merangsek terus sampai di titik krusial eksperimen kesembilan puluh sekian. Tidak percaya ? Jika kau penasaran dan ingin tahu apakah kau akan mendapatkan uangmu empat kali lipat atau tidak, dengan senang hati akan kuantarkan kau ke alam di mana Yang Mulia Edison sekarang berada. Jangan kuatir. Biaya pengantaran : gratis.
Karena agamaku bernama Kanibalisme !”
No comments:
Post a Comment